MUBTADA 10

Senin, 14 Mei 2012

Dilalah

DISUSUN OLEH AHMAD ZAENUDIN ARIF

A. Pengertian Dilalah
Arti dilalah (الدلالة) secara umum adalah memahami sesuatu atas sesuatu.Kata sesuatu yang disebutkan pertama disebut مدلول (yang ditunjuk). Dalam hubungannya dengan hukum, yang disebut madlul adalah hukum itu sendiri. Sedangkan kata sesuatu yang disebutkan kedua disebut دليل(yang menjadi petunjuk). Dalam hubungannya dengan hukum, dalil itu disebut dalil hukum.
Dilalah sebenarnya merupakan salah satu bagian dalam pembahasan ilmu logika, di mana untuk mengetahui sesuatu  tidak mesti harus melihat atau mengamati sesuatu itu secara langsung, tetapi cukup dengan menggunakan petunjuk yang ada. Berpikir dengan menggunakan petunjuk atau isyarat disebut berpikir secara dilalah. Oleh karena itu, dalam pembahasan ilmu Ushul al-Fiqhdilalah adalah memahami suatu hukumsyar’i berdasarkan dalil hukum syar’i.

B. Dilalah dalam Pandangan Ulama Hanafiyyah
Ulama Hanafiyah membagi dilalah kepada dua macam, yaitu dilalah lafzhiyyah dan dilalah ghayru lafzhiyyah.

1. Dilalah Lafzhiyyah (دلالة لفظية)
Dilalah lafzhiyyah adalah dilalah yang menggunakan dalil menurut lahiriyahnya sebagai petunjuk hukum. Para fuqaha’ hanafiyyah membedakan empat tingkat makna dalam suatu urutan yang dimulai dengan makna eksplisit atau makna langsung suatu nash. Urutan berikutnya adalah makna yang tersirat yang diikuti oleh makna yang tersimpul dan terakhir oleh makna yang dikehendaki. Adapun penjelasan keempat bagian tersebut secara terperinci adalah sebagaimana berikut:
1)      دلالة العبارة atau عبارة النص (makna eksplisit),
yaitu makna yang dapat segera dipahami dari shighatnya. Makna tersebut adalah yang dimaksudkan dari susunan kalimatnya. Makna tersebut bisa langsung dipahami dari lafazh yang disebutkan baik dalam bentuk penggunaan menurut asalnya (nash) atau bukan menurut asalnya (zhahir).
Pemahaman lafazh dalam bentuk ini adalah menurut apa adanya yang dijelaskan dalam lafazh tersebut. Pemahamannya secara tersurat (eksplisit) dalam lafazh. Contohnya dalam firman Allah:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوْا فِيْ الْيَتَامَى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ. فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. K‘Ibarah an-nash bertingkat-tingkat kekuatannya sesuai dengan kejelasan arti lafazhnya. ‘Ibarat dalam bentuk nash lebih kuat penunjukannya dibanding dengan ‘ibarat dalam bentuk zhahir.
emudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja”
Dari ayat tersebut terdapat empat makna di dalamnya. Pertama, legalitas pernikahan. Kedua, pembatasan poligami maksimal empat. Ketiga,penetapan asas monogami jika poligami dikhawatirkan mendatangkan ketidakadilan. Keempat, ketentuan bahwa wanita-wanita yatim harus diperlakukan secara adil.
Ciri ‘ibarah an-nash adalah bahwa ia membawa ketentuan definitive (hukm qath’iy) dan tidak  memerlukan dalil pendukung. Tetapi jika nashtersebut dikemukakan dengan terma-terma umum, maka ia bisa terkena kualifikasi. Dalam kasus demikian, ia tidak menjadi dalil qath’iy tetapi hanya dalil zhanniy saja.

2)      دلالة الإشارة atau إشارة النص (makna tersirat),
yaitu makna yang tidak segera dapat dipahami dari lafazh-lafazhnya, tidak pula dimaksudkan melalui susunannya. Akan tetapi ia adalah makna yang lazim bagi makna yang segera dapat dipahami lafazhnya.
Setiap lafazh menurut ‘ibaratnya memberi petunjuk kepada maksud tertentu sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh lafazh tersebut. Para ulama ushul juga dapat menangkap bentuk lafazh yang demikian untuk memberi petunjuk (isyarat) kepada maksud lain. Terkadang lafazh itu memberi isyarat kepada lebih dari satu maksud di luar apa yang ditunjukkan oleh ‘ibaratnya (makna eksplisitnya). Contohnya dalam firman Allah:

وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf…”

Makna eksplisit ayat tersebut adalah jelas menentukan bahwa merupakan kewajiban ayah untuk menafkahi istrinya. Ungkapan المولود له yang berarti ayah sebagai pengganti lafazh الأب yang digunakan oleh Allah dalam ayat ini oleh para mujtahid menjadi titik perhatian. Dari lafazh المولود (yang dilahirkan/anak) dan له (untuknya) tersebut dapat dipahami pula bahwa anak adalah kepunyaan ayahnya, atau dalam istilah hukum “anak itu dinasabkan kepada ayahnya”.

Dengan pemahaman tersebut terlihat bahwa ayat tersebut yang menurut‘ibaratnya mengandung maksud tertentu, juga menurut isyaratnya menunjukkan kepada maksud yang lain.

3)      دلالة الدلالة atau دلالة النص (makna yang tersimpul),
Yaitu makna yang dipahami dari jiwa dan penalaran nash. Jika ‘ibarat suatu nashmenunjukkan hukum suatu kasus dengan suatu  ‘illat yang menjadi dasar hukum tersebut, dan ditemukan kasus lain yang menyamai kasus tersebut dalam segi ‘illat hukumnya atau bahkan ia lebih-lebih lagi, dan hal itu dapat segera dipahami dengan semata-mata memahami bahasa bahasa, maka secara bahasa dapat dipahami bahwa nash tersebut mencakup dua kasus tersebut, dan hukum yang ditetapkan bagi manthuq (yang diucapkan) juga berlaku bagi yang dipahami dengan ‘illat yang sama.
Berbeda dari makna ‘ibarat dan isyarat, di mana keduanya ditunjukkan dalam lingkup dan isyarat-isyarat nashdilalah an-nash tidak ditunjukkan dalam lingkup dan isyarat-isyaratnya. Di samping itu, makna tersebut diperoleh melalui penarikan analogi yang diperoleh melalui inferensi. Dilalah semacam ini sering disebut dengan istilah المفهوم الموافقة dan sebagian ulama menamakannya dengan القياس الجلي.

Dilalah an-nash ini terbagi menjadi dua, yaitu:

1. Hukum yang akan diberlakukan kepada kasus yang tidak disebutkan dalam nash keadaannya lebih kuat dibanding dengan kasus yang terdapat dalam nash. Dilalah an-nash dalam bentuk ini disebut dengan المفهوم الأولوي(al-mafhum al-awlawiy) atau disebut pula فحوى الخطاب (fahwa al-khithab). Sebagaimana dalam firman Allah:

فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْ هُمَا
”Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka…”

‘Ibarah an-nash menunjukkan tidak bolehnya mengucapkan kata-kata kasar dan menghardik orang tua. Hukum “tidak boleh” itu juga berlaku pada perbuatan “memukul orang tua” secara lebih kuat, karena sifat “menyakiti” yang menjadi alasan larangan pada pengucapan kasar lebih kuat pada perbuatan “memukul”.

2. Hukum yang akan diberlakukan kepada kasus yang tidak disebutkan dalam nash keadaannya sama dengan kasus yang disebutkan dalam nash. Dilalah an-nash dalam bentuk ini disebut المفهوم المساوى (al-mafhum al-Musawi) atau لحن الخطاب (lahn al-khithab). Contohnya dalam firman Allah:

إِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِيْ بُطُوْنِهِمْ نَارًا
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya…”

‘Ibarah an-nash dari ayat tersebut menunjukkan tidak boleh memakan harta anak yatim secara tidak patut. Hukum “tidak boleh” ini berlaku pula pada perbuatan yang sama dengan memakan harta anak yatim, misalnya membakarnya atau memusnahkannya. Alasan yang terdapat dalam ayat tersebut, yaitu “menghabiskan” harta anak yatim, terdapat pula pada perbuatan membakarnya atau memusnahkannya yang sama kuatnya dengan perbuatan memakannya secara tidak patut.

4)      دلالة الإقتضاء atau إقتضاء النص (makna yang dikehendaki), yaitu makna yang ditunjukkan oleh suatu lafazh yang kebenarannya tergantung kepada makna yang tidak disebutkan. Dengan kata lain bahwa dalam suatu ucapan ada suatu makna yang sengaja tidak disebutkan karena adanya anggapan bahwa orang akan mudah mengetahuinya, namun dari susunan ucapan itu terasa ada yang kurang sehingga ucapan itu dirasakan tidak benar kecuali jika makna yang tidak disebutkan itu dinyatakan. Contohnya dalam firman Allah:

وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ الَّتِيْ كُنَّا فِيْهَا وَالْعِيْرَ الَّتِيْ أَقْبَلْنَا فِيْهَا
“Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada disitu, dan kafilah yang kami datang bersamanya…”

Menurut zhahir ungkapan ayat tersebut terasa ada yang kurang, karena bagaimana mungkin bertanya kepada “negeri” yang bukan makhluk hidup. Karenanya dirasakan perlu memunculkan suatu kata agar ungkapan dalam ayat tersebut menjadi benar. Kata yang perlu dimunculkan adalah kata “penduduk” sebelum kata “negeri” sehingga menjadi “penduduk negeri”, yang dapat ditanyai dan memberi jawaban.    

2. Dilalah Ghayru Lafzhiyyah (دلالة غير لفظية)
Dilalah ghayru lafzhiyyah adalah dilalah yang menggunakan dalil bukan menurut lahiriyahnya sebagai petunjuk hukum. Dilalah seperti ini disebut dengan دلالة السكوت (dilalah as-sukut) atau بيان الضرورة (bayan adl-dlarurah).Dilalah semacam ini dibagi menjadi empat macam:

1)      Kelaziman yang untuk menyebutkan suatu ketetapan hukum tertentu juga menetapkan hukum yang tidak disebutkan. Misalnya dalam firman Allah:

وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ
“Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga;”

Ketetapan bahwa bagian warisan ibu adalah sepertiga, maka bagian ayah adalah dua pertiga ketika ahli waris hanya mereka berdua karena bagian laki-laki adalah dua kali bagian wanita.
2)      Penunjukan keadaan diamnya seseorang yang berfungsi sebagai penjelasan persetujuannya.
3)      Menganggap diamnya seseorang sebagai sudah berbicara untuk menghindari adanya penipuan.
4)      Penunjukan keadaan diam untuk sesuatu yang berbilangan tetapi dihilangkan untuk menyederhanakan kata.

C. Dilalah dalam Pandangan Ulama Syafi’iyyah
Dalam pandangan ulama Syafi’iyyah, dilalah itu dibagi menjadi dua macam, yaitu dilalah manthuq dan dilalah mafhum. Sedangkan penjelasannya adalah sebagaimana berikut:

1. Al-Manthuq (المنطوق)
Manthuq secara etimologi berarti sesuatu yang diucapkan. Sedangkan menurut istilah ushul al-fiqh berarti penunjukan lafazh terhadap hukum sesuatu yang disebutkan dalam pembicaraan (lafazh). Dari definisi ini diketahui bahwa apabila suatu hukum dipahami secara langsung darilafazh yang tertulis maka cara seperti ini yang disebut pemahaman secara manthuqDilalah al-manthuq ini terbagi menjadi dua:

1)      Manthuq sharih yaitu makna yang secara tegas yang ditunjukkan suatu lafazh sesuai dengan penciptaanya, baik secara penuh atau berupa bagiannya. Misalnya, firman Allah dalam Surat an-Nisa’ (4): 3 yang mencantumkan hukum boleh kawin lebih dari satu orang dengan syarat adil, jika tidak, maka wajib membatasi satu saja. Manthuq sharih ini dikenal dengan istilah ‘ibarah an-nash dalam kalangan ulama Hanafiyyah.

2)      Manthuq ghayru sharih yaitu pengertian yang ditarik bukan dari makna asli suatu lafazh, tetapi sebagai konsekuensi dari suatu ucapan.Dilalah ini terbagi lagi menjadi:
1.      دلالة الإقتضاء atau إقتضاء النص, sebagaimana yang dipahami ulama Hanafiyyah.
2.      دلالة الإيماء, yaitu penyertaan sifat dalam hukum sebagai ‘illat hukum yang mana jika sifat tersebut tidak menjadi ‘illat maka penyertaan itu tidak ada artinya. Dengan demikian dilalah ima’ secara sederhana dapat diartikan sebagai petunjuk yang mengisyaratkan sesuatu.
3.      دلالة الإشارة atau إشارة النص, sebagaimana dipahami oleh ulama Hanafiyyah, yaitu penunjukan yang tidak dimaksud oleh pembicara.

2. Al-Mafhum (المفهوم)
Mafhum secara etimologi adalah sesuatu yang dipahami dari suatu teks. Sedangkan pengertian mafhum menurut ulama ushul adalah pengertian tersirat dari suatu lafazh atau pengertian kebalikan dari pengertian lafazh yang diucapkanMafhum menurut mayoritas ulama ushul fiqh – sebagaimana tergambar dalam definisi di atas – dapat dibagi menjadi dua macam:

1)      المفهوم الموافقة yaitu mafhum yang lafazhnya menunjukkan bahwa hukum yang tidak disebutkan sama dengan hukum yang disebutkan dalamlafazhMafhum ini terbagi menjadi dua, yaitu mafhum awlawiy danmafhum musawiy, sebagaimana keterangan dalam دلالة النص.

2)      المفهوم المخالفة yaitu mafhum yang lafazhnya menunjukkan bahwa hukum yang tidak disebutkan berbeda dengan hukum yang disebutkan. Atau bisa juga diartikan hukum yang berlaku berdasarkan mafhum itu berlaku berlawanan dengan hukum yang berlaku pada manthuqMafhum mukhalafah ini dinamai juga dengan dalil khithabMafhum mukhalafahini terbagi dalam beberapa bentuk, di antaranya adalah:

مفهوم الصفة .1 yaitu penunjukan suatu lafazh yang terkait dengan suatu sifat terhadap kebalikan hukumnya ketika tidak ada sifat tersebut. Contohnya dalam firman Allah:

وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ
“Dan barang siapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki…”

Ayat ini menunjukkan bahwa seorang laki-laki mukmin boleh menikahi budak perempuan yang beriman ketika tidak mampu menikahi perempuan beriman yang merdeka. Melalui mafhum mukhalafahdiketahui haramnya menikahi budak perempuan yang tidak beriman.

مفهوم الشرط .2 yaitu menetapkan kebalikan hukum yang terkait dengan syarat ketika syarat itu tidak ada. Contohnya dalam firman Allah:

وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوْا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin…”

Ayat ini menegaskan adanya kewajiban suami memberi nafkah terhadap istrinya yang telah dithalaq ba’in jika istri tersebut dalam keadaan hamil. Secara mafhum mukhalafah suami tidak berkewajiban memberi nafkah terhadap istrinya yang telah dicerai dalam keadaan tidak hamil.

مفهوم الغاية .3 yaitu penunjukan suatu lafazh yang terkait padanya hukum yang dibatasi dengan limit waktu atas tidak berlakunya hukum itu setelah limit waktunya berlalu. Contohnya sebagaimana dalam firman Allah:

وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar…”

Ayat ini menjelaskan tentang bolehnya makan dan minum pada malam bulan Ramadlan sampai terbit fajar. Secara mafhum mukhalafah ayat ini dapat dipahami bahwa haram makan dan minum sesudah limit waktu habis, yaitu setelah terbit fajar.

مفهوم العدد .4 yaitu penunjukan suatu lafazh yang terkait padanya hukum dengan bilangan tertentu terhadap hukum kebalikannya ketika bilangan itu tidak ada. Sebagaimana dalam firman Allah:

وَالَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوْا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوْهُمْ ثَمَانِيْنَ جَلْدَةً
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera…”

Berdasarkan ayat ini, hukuman bagi orang yang menuduh wanita baik-baik melakukan zina, sementara ia tidak mampu mendatangkan empat orang saksi adalah, adalah didera sebanyak 80 kali. Dalam hal ini tidak boleh mengurangi ataupun menambahi hukuman dera 80 kali.

مفهوم اللقب .5 yaitu meniadakan berlakunya sebuah hukum yang terkait dengan suatu lafazh terhadap orang lain dan menetapkan hukum itu berlaku untuk nama atau sebutan tersebut. Sebagaimana terdapat dalam firman Allah:

إِذْ قَالَ يُوْسُفُ لِأَبِيْهِ يَأَبَتِ إِنِّي رَأَيْتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ رَأَيْتُهُمْ لِيْ سَاجِدِيْنَ
“(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku.”

Dari ayat ini dipahami bahwa ucapan tersebut hanya terkait dengan Nabi Yusuf karena tidak ada tidak ada kaitannya dengan orang lain.

D. Berhujjah dengan Menggunakan Mafhum Mukhalafah
Para ulama berbeda pendapat dalam menjadikan mafhum mukhalafahsebagai hujjah. Kalangan Hanafiyyah tidak menerima mafhum mukhalafah sebagai landasan pembentukan hukum. Di antara alasan yang dikemukakan kelompok ini bahwa bila mafhum mukhalafah difungsikan pada banyak ayat al-Qur’an dan hadits Nabi SAW, maka akan merusak pengertian yang terdapat pada ayat dan hadits dan meniadakan hukum yang ditetapkan secara syara’ melalui ayat dan hadits tersebut. Misalnya dalam firman Allah:

يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوْا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”

Apabila digunakan mafhum mukhalafah terhadap ayat ini maka riba yang tidak termasuk kategori berlipat ganda dihalalkan dan dibolehkan oleh ayat ini. Pemahaman seperti ini jelas keliru karena riba yang tidak berlipat ganda pun dilarang dan haram hukumnya. Ini menunjukkan bahwa mafhum mukhalafah tidak dapat digunakan terhadap al-Qur’an.
Berbeda dengan kalangan Hanafiyyah, jumhur ulama ushul al-fiqhmenerima mafhum mukhalafah dengan mengecualikan mafhum al-laqabsebagai hujjah. Mereka mengemukakan beberapa alasan, di antaranya:
1.      Sahabat-sahabat besar, para tabi’in dan imam-imam mujtahidmenggunakan mafhum mukhalafah.
2.      Secara logika adanya kaitan yang terdapat pada nash-nash ­syariat dalam bertuk shifat, syarat atau ghayah bukan suatu kesia-siaan, tetapi mempunyai manfaat tertentu. Di antara faidahnya mengkhususkan hukum yang dimaksudkan oleh nash dan meniadakan selainnya.

E. Syarat Berhujjah dengan Mafhum Mukhalafah
Ulama yang memperbolehkan berhujjah dengan mafhum mukhalafahmengemukakan beberapa syarat dalam menggunakannya sebagai hujjah. Syarat-syarat tersebut adalah:
1.      Mafhum mukhalafah itu tidak bertentangan dengan dalil manthuq ataumafhum muwafaqah, karena keduanya lebih kuat untuk digunakan dalamistidlal.
2.      Hukum yang tersebut dalam nash tidaklah ditujukan sekedar merangsang keinginan seseorang untuk berbuat sesuatu.
3.      Hukumyang terdapat dala nash tidak merupakan jawaban atas pertanyaan yang menyangkut hukum khusus yang berlaku waktu itu.
4.      Dalil mantuqnya (yang tersurat) disebutkan secara terpisah. Seandainyamanthuq tidak terpisah dan disebutkan sebagai rangkaian bagi dalil lain, maka tidak dapat diambil mafhum mukhalafahnya.
5.      Manthuq bukanlah dalam bentuk hal-hal yang biasa berlaku.




KESIMPULAN
Arti dilalah (الدلالة) secara umum adalah memahami sesuatu atas sesuatu.Ulama Hanafiyyah membagi dilalah kepada dua macam, yaitu dilalah lafzhiyyah yang terbagi menjadi ‘Ibarah an-nash, Isyarah an-nash, Dilalah an-nash dan Iqtidla’ an-nash, juga kepada dilalah ghayru lafzhiyyah.
Dalam pandangan ulama Syafi’iyyah, dilalah itu dibagi menjadi dua macam, yaitu dilalah manthuq yang terbagi menjadi manthuq sharih danmanthuq ghayru sharih serta dilalah mafhum yang terbagi menjadimafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
Para ulama berbeda pendapat dalam menjadikan mafhum mukhalafahsebagai hujjah. Kalangan Hanafiyyah tidak menerima mafhum mukhalafah sebagai landasan pembentukan hukum. Sedangkan jumhur ulama ushul al-fiqh menerima mafhum mukhalafah dengan mengecualikan mafhum al-laqab sebagai hujjah. Syarat Berhujjah denganMafhum Mukhalafah adalah:
1.      Mafhum mukhalafah itu tidak bertentangan dengan dalil manthuq ataumafhum muwafaqah, karena keduanya lebih kuat untuk digunakan dalamistidlal.
2.      Hukum yang tersebut dalam nash tidaklah ditujukan sekedar merangsang keinginan seseorang untuk berbuat sesuatu.
3.      Hukum yang terdapat dala nash tidak merupakan jawaban atas pertanyaan yang menyangkut hukum khusus yang berlaku waktu itu.
4.      Dalil mantuqnya (yang tersurat) disebutkan secara terpisah. Seandainyamanthuq tidak terpisah dan disebutkan sebagai rangkaian bagi dalil lain, maka tidak dapat diambil mafhum mukhalafahnya.
5.      Manthuq bukanlah dalam bentuk hal-hal yang biasa berlaku.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]



<< Beranda