MUBTADA 10

Kamis, 31 Mei 2012

Secret Admirer

Written by: Diah Pujiawati


Kamis pagi itu, aku mendapatkan sebuah jepit rambut biru dalam loker mejaku. Jepit rambut dengan manik bunga matahari kecil yang teramat lucu itu, membuatku berpikir berulang kali, apakah ada seorang anak kecil yang sengaja meletakkannya di lokerku, ataukah lupa tertinggal karena asyiknya dia bermain bersama anak-anak sebayanya yang banyak berkeliaran di halaman sekolahku, mengingat Sekolah Menengah Pertama Al-Imarohku ini memang berdempetan dengan rumah-rumah warga, dan halaman sekolah ini selalu menjadi arena bermain anak-anak mereka.
Aku merenung sekali lagi. Ah, mungkin memang tertinggal di sini selagi anak-anak itu bermain petak umpet hingga ke dalam kelas, ketika semua kegiatan sekolah telah selesai. Ku letakkan lagi jempit biru itu ke dalam lokerku. Pikirku, mungkin nanti pemiliknya akan mengambil lagi ketika kelas telah usai.
Ku letakkan ranselku di atas meja, dan hendak beranjak ke kantin dimana ketiga sahabatku Wiwin, Tia, dan Riska menantiku di sana. Di depan pintu kelas, tampak pak Husen, penjaga sekolah, tengah menyapu lantai.
“Pagi, pak,” Sapaku. Dia tersenyum sambil menunjukan deretan giginya yang mulai tanggal oleh usia. “Eh, Neng Asri. Selamat pagi,” sapanya balik. Ada aura hangat yang timbul dari raut wajahnya yang cerah. Setelah sapa singkat itu, aku bergegas berlari menuju kantin.
Hanya setengah jam di sana, bel tanda mulai pelajaran sudah berdering nyaring. Aku dan ketiga sahabatku kembali ke kelas, dan terkejut mendapati sebuah boneka teddy bear coklat berukuran 30 cm, tergeletak di atas mejaku. Posisi boneka teddy yang terduduk itu tengah memangku sebuah syal putih tulang yang agak usang. Yang membuatku lebih terkejut adalah jepit biru bermanik matahari kecil itu, menempel indah menghiasi kepala boneka teddy.
“Cie... pasti dari Latif,” celetuk Tia. Wiwin dan Riska ikutan menggodaku. Aku hanya tersenyum bingung. Mereka bertiga semakin intens menggodaku, hingga mau tak mau, wajahku akhirnya bersemu. Jika bukan karena Ibu guru tiba tepat waktu, mungkin mereka akan terus meneriaki namaku dan Latif hingga seisi kelas tahu, dan aku dibuatnya malu.
Tapi benarkah dari Latif? Meskipun aku pernah mendengar tentang desas-desus bahwa dia menyukaiku, namun tetap saja ini terasa aneh bagiku. Latif, kakak tingkatku itu, bukan seseorang yang bisa berbuat sedemikian romantis terhadap wanita. Bagaimana tidak, kerjaannya saja hanya bergulat di dalam labolatorium IPA atau bermain sepak bola. Sikapnya cuek luar biasa. Sekali pun, tak pernah aku melihatnya bersama seorang wanita, apalagi merayunya. Mungkin desas-desus yang ku dengar tentang dia suka padaku pun, hanya sekelebat gosip miring di antara para siswa.
Lalu siapa?
~~~~~~~~
“Asri, bawakan pot tanaman itu ke halaman belakang dan berikan pada penjaga sekolah,” perintah guru biologiku, Ibu Murgi. Segera saja aku melesat pergi tanpa banyak bertanya. Langkahku terhenti di depan sebuah lapangan sepak bola. Di sana, Latif tengah bermain seperti biasa bersama kawan-kawannya. Tiba-tiba saja pandangan kami bertemu. Cukup lama, hingga akhirnya aku tersadar bahwa kami tengah saling menatap di luar batas yang wajar. Aku menggelengkan wajah berkali-kali, mencoba mengambil kesadaran sebanyak-banyaknya. Saat itu, aku berani bersumpah melihatnya tersenyum dengan tingkahku yang tampak lucu dan jelas aneh, sebelum akhirnya aku berlari teringat tugas Bu Murgi.
Sambil berlari menahan malu dengan kejadian singkat tadi, terlintaslah hadiah-hadiah itu dalam benakku. Mungkinkah dia? Benarkah dia? Berbagai spekulasi—yang membuatku melayang—menari-nari di kepalaku. Sepanjang sisa perjalanan menuju halaman belakang itu, sukses membuatku tersipu.
Ku dapati punggung Pak Husen tengah menyerok-nyerok tanah dengan sekop. Alhasil, niat ingin menyapa, urung ku lakukan, begitu ku dengar lirih suaranya.
“Bapak sudah memberikan semua barangmu, nak. Teddy bearmu, jepit rambutmu, bahkan pencil kesayanganmu,”
Aku terhenyak. Serentak bayangan-bayangan indah tadi, membuyar begitu saja. Aku menatap punggung bungkuk itu dengan raut penuh tanya. Sendu suaranya terdengar lagi, dan lebih lirih.
“Semoga kau tenang di alam sana, nak. Semoga gadis kecil yang begitu mengingatkanku padamu itu, menyukai semua barang-barang berhargamu,”
Suara sekop yang asal tersuruk itu, membatin di dadaku. Mengingatkanku sejenak akan kematian anak kesayangan Pak Husen yang begitu pilu, hingga seluruh isi sekolah turut berkabung dengannya. Ada perasaan terenyuh yang teramat hangat menyentuh hatiku. Betapa menjadi teramat berarti hidupku mendapat kepercayaan seperti itu.
Aku pasti akan menjaganya, Pak. Pasti. Batinku berjanji. Setelah itu ku sunggingkan senyuman ramahku.
Pak, ini potnya,” seruku yang lantas membuatnya menoleh, dan sontak membuatnya menghapus jejak-jejak airmata di wajahnya yang masih tersisa. Dia memasang wajah paling ceria seperti biasa.
Eh, Neng Asri,”
Gurat hangat rasa cinta seorang ayah, jelas terukir di wajahnya yang kian menua. Aku sungguh menyayangimu, Pak. Sungguh sangat menyayangimu seperti ayah keduaku....


End_

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]



<< Beranda